Berikut ini akan saya tampilkan tulisan yang menegaskan bahwa Ahmadiyah tidak termasuk aliran sesat. Tulisan ini merupakan tanggapan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia
terhadap kriteria aliran sesat yang dikeluarkan oleh MUI pada Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) 4-6 November 2007 di Hotel Sari Pan Pacifik.
Berikut tanggapannya:
1. Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam,
Tanggapan: Ahmadiyah berpegang teguh kepada rukun Iman dan rukun Islam sebagaimana pernyataan pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
Tanggapan: Ahmadiyah berpegang teguh kepada rukun Iman dan rukun Islam sebagaimana pernyataan pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
“Sesungguhnya
kami orang-orang Islam yang beriman kepada Allah yang Tunggal, yang
segala sesuatu bergantung pada-Nya, yang MahaEsa, dengan pengakuan
‘tidak ada Tuhan kecuali Dia’; kami beriman kepada kitabullah Al Qur’an
dan Rasul-Nya, paduka kita Muhammad Khataamun Nabiyyin; kami beriman
kepada Malaikat, Hari Kebangkitan, Surga dan Neraka . . . dan kami
menerima setiap yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik kami mengerti maupun kami tidak mengerti rahasianya serta kami
tidak mengerti hakikatnya; dan berkat karunia Allah, aku termasuk
orang-orang mukmin yang meng-esakan Tuhan dan berserah diri.” (Nurul Haq, Juz I, halaman 5)
2. Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah),
Tanggapan: Ahmadiyah tidak meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendiri Ahmadiyah menyatakan dengan tegas:
2. Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan As Sunnah),
Tanggapan: Ahmadiyah tidak meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendiri Ahmadiyah menyatakan dengan tegas:
“Tidak
masuk kedalam Jemaat kami kecuali orang yang telah masuk ke dalam Islam
dan mengikuti Kitab Allah dan Sunnah-sunnah pemimpin kita sebaik-baik
manusia (Muhammad Rasulullah SAW) dan beriman kepada Allah, Rasul-Nya
yang Maha Mulia yang Maha Pengasih dan beriman kepada khasyr dan nasyr,
surga dan neraka jahiim; dan berjanji dan berikrar bahwa ia tidak akan
memilih agama selain agama Islam dan akan mati diatas agama ini, agama
fitrah, dengan berpegang teguh kepada kitab Allah yang Maha Tahu; dan
mengamalkan setiap yang telah ditetapkan dari Sunnah, Al Qur’an dan
Ijma’ para sahabat yang mulia; siapa yang mengabaikan tiga perkara ini
sungguh ia telah membiarkan jiwanya dalam api neraka.
(Lihat buku Ruhani Khazain jilid XIX, hal.315 dan Mawahibur-Rahman, hal 96).
3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al Qur’an,
Tanggapan: Ahmadiyah meyakini Al Qur’an itu wahyu Allah yang mengandung syariat yang lengkap dan terakhir, karena itu tidak akan turun lagi wahyu sesudah Nabi Muhammad SAW yang mengandung syariat yang mengganti atau merubah syariat Al Qur’an.
Keyakinan Ahmadiyah tentang wahyu didasarkan pada surah Asy Syura, 42:52 yang artinya,
3. Meyakini turunnya wahyu sesudah Al Qur’an,
Tanggapan: Ahmadiyah meyakini Al Qur’an itu wahyu Allah yang mengandung syariat yang lengkap dan terakhir, karena itu tidak akan turun lagi wahyu sesudah Nabi Muhammad SAW yang mengandung syariat yang mengganti atau merubah syariat Al Qur’an.
Keyakinan Ahmadiyah tentang wahyu didasarkan pada surah Asy Syura, 42:52 yang artinya,
“Dan
tidaklah mungkin bagi manusia agar Allah berfirman kepadanya, kecuali
dengan wahyu langsung atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan
seorang Rasul guna mewahyukan apa yang dikehendaki-Nya dengan izin-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Luhur, Maha Bijaksana.”
Kalimat ‘yukallimahullahu’ dalam ayat ini berbentuk fi’il mudhori yang menunjukkan waktu sekarang, dan akan datang. Ini menunjukkan bahwa adanya wahyu adalah kekal sebagaimana kekalnya Dzat Allah Taala sebab ia terbit dari sifat mutakallim Allah Yang Maha Kekal. Sedangkan wahyu yang diturunkan hanya untuk menjelaskan dan menjunjung tinggi Al Qur’an akan tetap ada dan tetap diperlukan sampai kiamat dan wahyu-wahyu semacam itu pernah diterima para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sesudah Rasulullah Muhammad SAW wafat, para sahabat yang akan memandikan jenazah nabi Muhammad SAW menerima wahyu tentang bagaimana hendaknya jenazah Rasulullah Muhammad SAW , “Mandikanlah Nabi SAW sedang padanya ada pakaiannya.” (Hadits Al Baihaqi dari Siti Aisyah r.a. dalam Tarikhul Kamil jil. 2 halaman 16 dan Misykatus Syarif, jil. 3 babul Kiromat hal. 196-197). Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lain-lain, juga pernah menerima wahyu jenis ini. (tentang hal ini dapat dibaca pada buku Muzhatul-Majalis, jil. 1 hal. 107, babul-khilmi washfchi; Al Mathalibul Jamaliyah, Cetakan Mesir tahun 1344 halaman 23; dan Al futuhatul Makiyyah, jilid III, halaman 35).
Pendapat yang mengatakan bahwa sama sekali tidak ada wahyu dalam bentuk apapun setelah kewafatan Rasulullah Muhammad SAW sama saja dengan mengatakan bahwa sifat mutakallim Allah Taala telah terhenti, dengan kata lain Allah telah mengalami pengurangan dalam sifat-sifat-Nya. Bila salah satu sifatnya dinyatakan telah tidak berlaku lagi maka tidak tertutup kemungkinan bagi sifat-sifat-Nya yang lain akan berkurang dan ini akhirnya merusak keimanan seseorang kepada Allah.
4. Mengingkari autentisitas dan kebenaran Al Qur’an,
Kalimat ‘yukallimahullahu’ dalam ayat ini berbentuk fi’il mudhori yang menunjukkan waktu sekarang, dan akan datang. Ini menunjukkan bahwa adanya wahyu adalah kekal sebagaimana kekalnya Dzat Allah Taala sebab ia terbit dari sifat mutakallim Allah Yang Maha Kekal. Sedangkan wahyu yang diturunkan hanya untuk menjelaskan dan menjunjung tinggi Al Qur’an akan tetap ada dan tetap diperlukan sampai kiamat dan wahyu-wahyu semacam itu pernah diterima para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sesudah Rasulullah Muhammad SAW wafat, para sahabat yang akan memandikan jenazah nabi Muhammad SAW menerima wahyu tentang bagaimana hendaknya jenazah Rasulullah Muhammad SAW , “Mandikanlah Nabi SAW sedang padanya ada pakaiannya.” (Hadits Al Baihaqi dari Siti Aisyah r.a. dalam Tarikhul Kamil jil. 2 halaman 16 dan Misykatus Syarif, jil. 3 babul Kiromat hal. 196-197). Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lain-lain, juga pernah menerima wahyu jenis ini. (tentang hal ini dapat dibaca pada buku Muzhatul-Majalis, jil. 1 hal. 107, babul-khilmi washfchi; Al Mathalibul Jamaliyah, Cetakan Mesir tahun 1344 halaman 23; dan Al futuhatul Makiyyah, jilid III, halaman 35).
Pendapat yang mengatakan bahwa sama sekali tidak ada wahyu dalam bentuk apapun setelah kewafatan Rasulullah Muhammad SAW sama saja dengan mengatakan bahwa sifat mutakallim Allah Taala telah terhenti, dengan kata lain Allah telah mengalami pengurangan dalam sifat-sifat-Nya. Bila salah satu sifatnya dinyatakan telah tidak berlaku lagi maka tidak tertutup kemungkinan bagi sifat-sifat-Nya yang lain akan berkurang dan ini akhirnya merusak keimanan seseorang kepada Allah.
4. Mengingkari autentisitas dan kebenaran Al Qur’an,
Tanggapan:
Ahmadiyah meyakini Al Qur’an yang kita warisi sekarang ini asli
sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dulu, dan Ahmadiyah
menerimanya secara utuh. Pendiri Ahmadiyah menyatakan: “Siapa yang menambah atau menguranginya maka mereka itu tergolong setan.” (lihat, Mawahibur Rahman, halaman 285) ”….
Kami tidak menambah sesuatu dan tidak pula mengurangi sesuatu dari Al
Qur’an dan diatasnya kami hidup dan mati. Siapa yang menambah pada
syariat Al Qur’an ini seberat dzarroh (atom) atau menguranginya atau
menolak akidah ijma’iyah. Maka baginya kutukan Allah, malaikat dan
manusia semuanya.” (Anjami Atham, halaman 144) ; “…Al
Qur’an itu sesudah Rasulullah SAW (wafat) terpelihara dari perubahan
orang-orang yang merubah dan kesalahan dari orang-orang yang
menyalahkan; dan Al Qur’an itu tidak akan dimanshukhkan dan tidak akan
bertambah dan berkurang sesudah Rasulullah (wafat).”
(lihat, Ainah Kamalati Islam, halaman 21).
5. Menafsirkan Al Qur’an yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir,
5. Menafsirkan Al Qur’an yang tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir,
Tanggapan:
Ahmadiyah menafsirkan Al Qur’an berdasarkan 7 kaidah penafsiran yang
satu dengan lainnya tidak boleh saling bertentangan, yaitu:
(A) Dengan Al Qur’an sendiri. Tafsir suatu ayat tidak boleh bertentangan dengan ayat yang lain,
(B)
Dengan tafsir Rasulullah SAW. Jika satu arti dari ayat Al Quran
terbukti telah diartikan oleh Rasulullah SAW maka kewajiban seluruh
orang Islam untuk menerima itu tanpa keraguan dan keseganan sedikitpun,
(C)
Dengan tafsir para Sahabat Rasulullah SAW. Sebab mereka adalah pewaris
utama dan pertama dari nur ilmu-ilmu nubuwat Rasulullah SAW,
(D) Dengan merenungkan isi Al Quran dengan jiwa yang disucikan,
(E) Dengan Bahasa Arab,
(F). Dengan hukum Alam, sebab tidak ada pertentangan antara tatanan rohani dengan tatanan alam semesta,
(G)
Dengan tafsir yang diperoleh melalui bimbingan langsung dari Allah
seperti wahyu, mimpi, dan kasyaf. (disarikan dari buku ‘Barakatud do’a’,
karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad).
6. Mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
6. Mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah mengingkari kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Pendiri Jemaat Ahmadiyah menegaskan, “Sarana
petunjuk ketiga adalah Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang
berhubungan dengan sejarah Islam, budi pekerti, fiqh dengan jelas
dibentangkan di dalamnya. Faedah besar daripada Hadits selain itu ialah,
Hadits merupakan khadim (abdi) Al Qur’an.”
(Bahtera Nuh, bahasa Indonesia, edisi kelima, halaman 87-88)
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul,
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul,
Tanggapan:
Ahmadiyah tidak pernah menghina, melecehkan atau merendahkan Nabi dan
Rasul. Ahmadiyah menghormati dan mengimani semua Nabi dan Rasul Allah
sebagaimana Al Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslim, “Kami tidak membeda-bedakan di antara seorangpun dari Rasul-Rasul-Nya yang satu terhadap yang lain.” (Q.S Al Baqarah: 286).
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
Tanggapan:
Ahmadiyah tidak mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul
terakhir yang membawa syari’at. Nabi Muhammad SAW sendiri memberitakan
bahwa di akhir zaman akan turun Isa Ibnu Maryam yang kedudukannya adalah
Nabi, (Hadits Bukhari, Kitabul Anbiya’, bab Nuzul Isa Ibnu Maryam),
namun tidak membawa syari’at baru melainkan menegakkan syari’at Islam.
9. Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat,
9. Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat,
Tanggapan:
Ahmadiyah tidak pernah mengubah, menambah dan atau mengurangi
pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat, bahkan Ahmadiyah
berupaya melaksanakan semua sunnah Rasulullah SAW dan Ijma’ sahabatnya
Yang Mulia. Pendiri Ahmadiyah menyatakan : “Kami berlepas diri dari semua kenyataan yang tidak disaksikan syariat Islam.”
(Tuhfah Baghdad, halaman 35)
10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan seorangpun yang mengaku Islam atau mengucapkan dua Kalimah Syahadah.
Perlu diingat dan dipedomani bahwa Nabi Besar Muhammad SAW telah membuat definisi seorang dikatakan Muslim yang didasarkan atas amal seseorang dan bukan atas niat atau pikiran yang ada dalam benaknya. Misalnya, “Siapa saja yang shalat sebagaimana shalat kami, menghadap kepada kiblat kami dan memakan sesembelihan kurban kami, maka itu petunjuk bagimu (bahwa ia adalah) seorang muslim. Ia menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, janganlah kamu merusak tentang tanggungan Allah itu.” (Bukhari dan An Nasaai dan Kanzul Umal juz 1/398).
Dengan demikian Ahmadiyah sama sekali tidak termasuk kedalam aliran sesat. (Jakarta, 8 November 2007, P.B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia) []
10. Mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i,
Tanggapan: Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengafirkan seorangpun yang mengaku Islam atau mengucapkan dua Kalimah Syahadah.
Perlu diingat dan dipedomani bahwa Nabi Besar Muhammad SAW telah membuat definisi seorang dikatakan Muslim yang didasarkan atas amal seseorang dan bukan atas niat atau pikiran yang ada dalam benaknya. Misalnya, “Siapa saja yang shalat sebagaimana shalat kami, menghadap kepada kiblat kami dan memakan sesembelihan kurban kami, maka itu petunjuk bagimu (bahwa ia adalah) seorang muslim. Ia menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, janganlah kamu merusak tentang tanggungan Allah itu.” (Bukhari dan An Nasaai dan Kanzul Umal juz 1/398).
Dengan demikian Ahmadiyah sama sekali tidak termasuk kedalam aliran sesat. (Jakarta, 8 November 2007, P.B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia) []
Demikian tulisan ini kiranya bisa menyingkap kekaburan tentang Ahmadiyah.
Sumber : http://muslim-ahmadi.blogspot.com/2008/01/ahmadiyah-islam-sejati.html
Sumber : http://muslim-ahmadi.blogspot.com/2008/01/ahmadiyah-islam-sejati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar