Sabtu, 11 Agustus 2012

Tadzkirah Kitab Suci Ahmadiyah ?

Penjelasan mengenai tadzkirah ini saya tulis untuk menyingkap tabir gelap dari fakta yang ada. Pertanyaan penting dalam pembahasan ini adalah Apa pendapat Ahmadiyah tentang tadzkirah itu sendiri? Hal ini penting karena faktanya, kendatipun satu fihak mengatakan tadzkirah adalah sebagai kitab suci Ahmadiyah tetapi dari fihak lain yaitu Ahmadiyah tidak lah mempunyai pendapat seperti yang dialamatkan oleh pihak pertama tadi. Kedua adalah Mengapa Isi dari Tadzkirah yang di klaim sebagai kumpulan wahyu itu mempunyai kesamaan redaksional kata dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Alquran. Dari hal ini Ahmadiyah telah melakukan pembajakan Alquran, suatu istilah yang sekarang popular dialamatkan kepada Ahmadiyah bekaitan dengan tadzkirah ini. Permasalahan-permasalahan ini lah yang akan dibahas di dalam tulisan singkat saya ini. Semoga para pembaca dapat memahami niat baik kami untuk menjelaskan fakta sebenarnya, jangan sampai dengan isu-isu miring di luar akan menjadikan bahan stigma tehadap Ahmadiyah, dan yanglebih dihindari adalah jangan sanpai stigma yang terbentuk menjadi sesuatu yang namanya fitnah.

Sejarah Tadzkirah

Sebelumnya mari kita tempatkan dulu tadzkirah di posisi sebenarnya, supaya jangan ada anggapan yang merupakan kesimpulan sepihak, untuk itu kita patut mengetahui terlebih dahulu sejarah adanya buku yang namanya tadzkirah. Tadzkirah itu salah satu artinya adalah sebuah catatan, biografi, kenangan. Dari itu memang demikian adanya bahwa Tadzkirah itu berisikan kumpulan wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf serta mimpi yang diterima oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah dalam hidupnya selama lebih dari 30 tahun. Bahasa sederhananya adalah tadzkirah itu merupakan koleksi wahyu, kasyaf, mimpi yang berceceran di dalam tulisan-tulisan Pendiri jemaat Ahmadiyah dan dikumpulakan menjadi satu buku yang dinamakan tadzkirah.

Tadzkirah sendiri belum ada di zaman hazrat Mirza Ghulam Ahmad hidup, melainkan buku itu dibuat kemudian atas prakarsa Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad pada sekitar Tahun 1935, berselang 27 tahun setelah kewafatan Mirza Ghulam Ahmad. Beliau menginstruksikan kepada Nazarat ta’lif wa tashnif, sebuah biro penerangan dan penerbitan Jamaah Ahmadiyah pada waktu itu untuk menghinpun wahyu-wahyu, kasyaf-kasyaf dan mimpi-mimpi yang terdapat dalam berbagai macam terbitan (buku-buku, jurnal-jurnal, selebaran, majalah dan berbagai surat kabar) yang mana materi terbitan itu telah disebarkan lepada umum pada saat itu. Selain itu, dari catatan-catatan harian Mirza Ghulam Ahmad juga ditemukan keterangan mengenai pengalaman ruhani beliau dan juga adanya kesaksian para sahabat beliau, anggota keluarga, kerabat, dll dimana mereka diberitahu oleh Mirza Ghulam Ahmad mengenai wahyu, kasyaf yang beliau terima dari Allah. Untuk maksud itu dibentuklah sebuah panitia yang terdiri dari Mln Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir dan Mlv Abdul Rasyid. Panitia tersebut menyusun buku tadkirah secara sistematis dan kronologis. Setelah pekerjaan itu selesai maka buku tersebut diberi nama tadzkirah.

Inilah sejarah singkat dari tadzkirah itu yang diharapkan bisa menjadi bahan acuan. Mungkin ada satu anggapan bahwa kalaupun kenyataannya seperti itu tetapi Ahmadiyahlah manjadikannya sebagai kitab suci, kalau seperti itu anggapannya maka itu hanyalah prasangka semata, karena Ahmadiyah tidak memiliki kitab suci kecuali Alquran Kariim yang diturunkan oleh Allah taala kepada wujud suci Rasulullah saw. Istilah “tadzkirah sebagai kitab suci" justru dipopulerkan oleh M. Amin Jamaluddin dalam buku karangannya yang berjudul Ahmadiyah dan Pembajakan Alquran. Jadi bukan Ahmadiyah dan memang demikian adanya bahwa Ahmadiyah tidak pernah dan takkan penah menganggap seperti itu, bahwa tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah, titik! Dimanapun, didalam literature-literatur jemaat Ahmadiyah maupun dalam ceramah-ceramah atau dalam obrolan-obolan rignan sekalipun.

Yang menjadi keberatan dan mungkin ini juga yang dijadikan bahan kesimpulan yang mengatakan tadzkirah merupakan Kitab suci Ahmadiyah adalah mengapa di dalam tadzkirah terdapat wahyu-wahyu yang secara redakdional katanya sama dengan Alquran. Ya memang benar, tetapi itu bukanklah kehandak yang menerima. Tujuannya adalah untuk memberikan penekanan atas beberapa aspek konotasi dan penerapannya terhadap lingkungan –lingkungan dan keadaan-keadaan tertebtu.

Wahyu-wahyu uyang diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad memang sebagian sama seperti yang kita temukan di dalam Alquran berupa pengulangan harfiah namun statusnya bukanlah wahyu-wahyu syariat. Ia mengandung makna-makna dan falsafah tertentu yang ingin diutarakan oleh Allah taala kepada hamba pilihannya sesuai dengan kehendak-Nya. Ini bukanlah pembajakan ayat-ayat suci Alquran, sedikitpun tidak mengurangi status Alquran sebagai kitab syariat yang paling sempurna. Justru hal itu menggambarkan kesempurnaannya. Salah satu sifat Allah taala adalah Mutakallim ( Maha berkata-kata) tidak ada tertera di dalam Alquran maupun ditempat lainnya bahwa setelah Alquran itu selesai diturunkan maka Allah tidak mau berkata-kata lagi dan akan membuang sifat-Nya yang satu itu untuk selamanya. Dia akan tetap berkata-kata, sedangkan manusia tidak bisa mendikte Allah Taala untuk tidak mengucapkan kembali apa-apa yang telah dan pernah Dia ucapkan sebelumnya.
Selain dari itu adanya pengulangan ini juga menunjukkan ketauhidan yang merupakan intisari daripada Islam, yakni Allah yang dahulu telah berkata-kata kepada Rasulullah saw serta yang telah menurunkan Alquran, Dia itu jugalah yang kini telah berkata-kata dengan hamba pilihan-Nya, bukan Tuhan yang lain.

Salahkah jika seseorang mendapatkan wahyu seperti itu? Tokoh sufi terkenal yang dijuluki
Asy-Syaikhul Akbar dan juga dijuluki Khatamul Aulia, yakni Imam Muhyiddin Ibnu Arobi menegaskan bahwa ayat-ayat suci Alquran dapat turun sebagai wahyu kepada para waliyullah dan hal itu tidak berarti mengurangi kehormatan Alquran atau membajak Alquran. Beliau menuliskan:

“Tanazzalul-quraa alaa quluubil awliyaa maa inqotho’a ma’a qawnihi mahfuuzan lahum walaakin lahum zuuqul-inzaal wahaaza liba’dhihim”
Artinya:”Turunnya Alquran ke dalam hati para wali tidaklah terputus. Bahkan pada mereka ia terpelihara dalam bentuk yang asli. Namun ia diturunkan kepada para wali adalah untuk memberikan cicipan rasa turunnya sebagian mereka”.(Futuhaat makiyyah Jil.2 h.258, bab:159)

Ibarat di dalam taman yang asri terdapat ribuan jenis pohon dengan beragam buah dan bunga, demikian pula halnya terbukti bahwa di dalam lembaran sejarah Islam terdapat wujud-wujud suci yang mendapat karunia berkomunikasi dengan Allah taala melalui wahyu, ilham, rukya dan kasyaf. Diantara wahyu-wahyu itu ada yang mirip kata-katanya dengan yang tercantum di dalam ayat-ayat suci Alquran. Bagi orang-orang yang tidak paham dan tidak pernah menghayati pengalaman rohani, sudah barang tentu akan menuduh para wujud suci itu sebagai pembajak Alquran pula, naudzubillah. Tetapi memang demikian faktanya bahwa bukan hanya Mirza Ghulam Ahmad saja yang mendapatkan wahyu Qurani malainkan banyak juga para tokoh-tokoh suci yang mengalami hal yang serupa. Berikut akan dituliskan mereka-mereka yang mendapatkan pengalaman rohani tersebut.

1. Imam Muhyiddin Ibnu Arabi menuliskan di dalam bukunya Futuhaat Makiyyah jilid 3, hal 367, bahwasannya beliau menerima wahyu qurani sebagai berikut:
Qul aamana billahi wama unzila ilayba wama unzila ilaa ibroohiim wa ismaa;iila wa ishaaqo, waya;quuba walasbaathi wama uutiya muusa wa’iisaa wama uutiyannabiyyuuna mirrobbihim, laa nufarriqu bayna ahadim minhum wanahnu lahu muslimuun”. (Wahyu ini adalah bentuk pengulangan dari surah Albaqarah:136)
2. Khawajah Miir Dard rahmatullah alaih di dalam kitab beliau yang berjudul Ilmul kitab hal. 64 menyatakan bahwa beliau menerima wahyu yang bebunyi sebagai berikut:
Waanzir asyiirotakal aqrobiin (terdapat dalam surah Asysyu’ara:214)
Kemudian: “Walaa tahzan ‘alaihim walaa takun fii dhoyyiiqim mimma yamkuruun” (terdapat dalam surah An-naml:70)
Demikian pula: “Wamaa anta bihaadil umyi ‘an dholaalatiihim” (Terdapat dalam Alquran Surah An-Naml:80)
2. Abdullah Ghaznawi, seorang tokoh waliyullah dan mulham yang masyhur di india, sebagaimana tercantum di dalam buku Itsbatul ilhaam wal bai’at karangan Mlv Abdul Jabbar Ghaznawi dan buku Swanah-e Umri Molwi Abdullah Ghaznawi oleh Mlv. Abdul Jabbar Ghaznawi dan Mlv Ghulam Rasul, cetakan Mathbu’ah Alquran, Amritsar, disebutkan bahwa Abdullah Ghaznawi menerima wahyu ssbb:

“Fashbir kamaa shobaro ‘ulul azmi minarrusul” (Terdapat dalam Alquran dalam Surah Al-Ahqaf:35)

kemudian :”Washbir nafsaka m’aalladziina yaduuna robbahum bil ghodaati wal asyiyyi” (Terdapat dalam Alquran surah Al-Kahfi:28)

Demikian pula:”Fashollili robbika wanhar” (Terdapat dalam, Alquran surah Al-Kautsar:3)
Demikain pula:“Walaa tuthi’ man aghfainaa qolbahuu ‘an Dzikrinaa wattaba’a hawaahu” (Terdapat dalam Alquran Surah Al-Kahfi:28)

3. Dalam futuhul Ghoib Syekh Abdul Qadir Jaelani bersabda: “Tughnaa watusyajja’ waturfa’ wa tukhootobu biannakal yauma ladainaa makiinun Amiin” bagian akhir ini pun terdapat di dalam ayat Alquran.
4. Kemudian dalam Al Matholib Jamaliyah, berkenaan dengan Imam Syafii Al Ustaad As sahaani menulis sebuah kitab bahwa Imam Syafii melihat Tuhan dalam mimpi dan berdiri dihadapan beliau. Maka, Tuhan memanggil beliau. “wahai Muhammad bin Idris, tegaklah diatas agama Muhammad dan janganlah sekali bergeser dari itu. Kalau tidak, kamu sendiri akan sesat dan akan menyesatkan orang-orang, Apakah kamu bukan imam orang-orang? Kamu janganlah sama sekali takut pada raja itu, bacalah ayat ini, (Q.S Yaasin:8 yang artinya:” Sesungguhnya Kami telah memadang belenggu di leher mereka lalu tangan mereka diangkat ke dagu, maka mereka itu tertengadah”) Imam Syafii berkata, “maka saya bangun dengan kudrat Tuhan ayat meluncur dari lidah saya.

Dari contoh wahyu-wahyu yang diterima oleh wujud suci tersebut diatas nampak jelas ada wahyu-wahyu uyang diterima oleh wujud-wujud suci tersebut di atas, nampak jelas ada wahyu-wahyu yang hanya barupa ayat-ayata Alquran ada yang bukan ayat Alquran dan ada yang merupalan campuran antara ayat-ayat Alquran dan yang bukan.

Syekh Muhyiddin Ibnu Arobi sendiri menerangkan lebih lanjut dalam buku Futuhatul Makiyyah juz II hal 236. “Semua macam wahyu Allah ini terdapat pada hamba-hamba Allah, yakni para wali. Ya, Wahyu yang khusus untuk para nabi dan wali-yang mereka tidak dapatkan-adalah wahyu syariat. Jadi wahyu yang di dalamnya terdapat hukum baru tidak akan turun. Jika ada nabi dalam umat ini yang dibangkitkan dan dia memperoleh wahyu maka tidak halangan dari segi akal dan nash, dengan syarat didalamnya tidak ada hal yang bertentangan dengan Alquran”

Abdul Wahhab Asysya’roni rh berkata dalam Al Yawaakitul Jawaahir juz II hal.84 sebagai berikut:
“Kita tidak mendapat mpemberiutahuan dari Tuhan bahwa sesudah RASululllah saw ada wahyu syariat yang akan turun tetapi untuk kita, wahyu dan ilham pasti ada”
Dalam hal ini kata-kata wahyu dan ilham digunakan supaya para pembaca memperhatikan dan sama sekali jangan lupa bahwa wahyu yang di dalamnya tidak ada perintah baru menentang perintah Alquran itulah yang bisa turun dan wahyu syariat ataupun wahyu kenabian yang membawa hukum baru tidak akan turun lagi.

‘Allamah Ullusi dalam tafsir beliau Ruhul Ma’ani berkata: “Kalian hendaknya mengetahui bahwa sebagian ulama mengingkari turunnya malaikat/wahyu pada hati selain nabi sebab mereka tidak merasakan lezatnya. Jelasnya bahwa malaikat itu turun tetapi dengan syariat nabi Kita saw. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar