Senin, 16 Agustus 2010

Pardah dalam Pandangan Islam



Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin wanita, bahwa mereka hendaknya menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka, kecuali apa yang dengan sendirinya nampak darinya, dan mereka mengenakan kudungan mereka hingga menutupi dada mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka kecuali kepada suaminya, atau kepada bapaknya, atau bapak suaminya, atau anak lelakinya atau anak lelaki suaminya atau saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan teman mereka atau apa yang dimiliki oleh tangan kanan mereka, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengetahui tentang bagian-bagian aurat wanita. Dan janganlah mereka itu menghentakkan kaki mereka, sehingga dapat diketahui apa yang mereka sembunyikan dari kecantikan mereka. Dan kembalilah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu mendapat kebahagian. ( QS. An-Nur:32)


Oleh karena banyak sekali kesalah-pahaman dan kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan pardah terdapat dalam Islam, bahkan kesalah-paham-an di kalangan umat Islam sendiri, maka kiranya pada tempatnya membuat suatu catatan yang agak terperinci mengenai masalah yang dirasakan sebagai gangguan itu. Ayat-ayat berikut membahas segala segi “pardah”.

  1. “Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin wanita yang beriman, bahwa mereka hendaknya menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka, kecuali apa yang dengan sendirinya nampak darinya, dan mereka mengenakan kudungan mereka hingga menutupi dada mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka ……….” ( 24:32, yaitu ayat yang sedang dibahas).
  2. “Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau dan istri-istri orang mukmin, bahwa mereka harus menarik ke bawah kain selubung mereka dari atas kepada sampai ke dada. Yang demikian itu lebih memungkinkan mereka dapat dikenal dan tidak diganggu” (33:60).
  3. Kata bahasa Arab yang dipakai dalam 33:60 ialah jalabib, yang bentuk tunggalnya jilbab, yang berarti pakaian luar atau kain selubung (Lane)
  4. “Wahai istri-istri nabi ; kamu tidak sama sengan salah seorang dari wanita-wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu lembut dalam tutur-kata, jangan-jangan orang yang dalam hatinya ada penyakit, akan tergiur ; dan ucapkanlah per-kataan-perkataan yang baik. Dan tinggallah di rumahmu dan janganlah memamerkan kecantikan seperti cara pamer kecantikan di zaman jahiliyah dahulu ..(33:33 – 34).
  5. “Hai orang-orang beriman ! Hendaklah mereka yang dimiliki oleh tangan kananmu, dan mereka yang belum baligh dari antara kamu, meminta izin dari kamu tiga kali sebelum masuk ke kamar pribadimu sebelum sembayang Subuh, dan apabila kamu membuka pakaianmu waktu tengah hari, dan sesudah sembayang Isya “ (24:59).

Kesimpulan-kesimpulan berikut timbul dari keempat ayat tersebut :

  1. Bila wanita-wanita Islam keluar rumah, mereka dikehendaki untuk mamakai jilbab, yaitu kain luar atau kain selubung, yang harus menutupi kepada dan dada mereka dengan cara demikian rupa, sehingga kain itu terurai dari kepada sampai ke dada, menutupi seluruh badan. Itulah maksud kata-kata Alquran yudniina ‘alaihinna min jalaahinna ( 33:60). Memakai kain luar dimaksudkan menyelamatkan wanita Muslim – ketika ia keluar rumah untuk keperluannya –dari siksaan batin, bila ia ditatap dengan tidak sopan atau diganggu atau diberi kesusahan dengan jalan lain apa pun oleh orang-orang yang akhlaknya meragukan.
  2. Orang-orang Muslim, pria atau wanita harus menundukkan mata mereka, bila mereka berhadapan satu sama lain.
  3. Perintah ketiga, sekalipun nampaknya ditujukan kepada istri-istri Rasulullah saw., sebenarnya menurut kebiasaan Alquran meliputi wanita-wanita Muslim halinnya juga. Kata-kata, “Dan tinggallah di rumahmu “ (33:34) mengandung arti, bahwa meskipun kaum wanita boleh keluar rumah bila perlu, tetapi lingkungan kegiatan mereka terpokok dan terutama adalan di dalam rumah.
  4. Pada ketiga waktu yang telah disebutkan itu, bahkan anak-anak pun tidak diizinkan memasuki kamar-kamar pribadi orang tua mereka, begitu juga pembantu-pembantu rumah tangga atau budak-budak wanita pun tidak diizinkan masuk ke kamar-kamar tidur majikan mereka.

Perintah pertama, berlaku untuk wanita-wanita, bila mereka ke luar rumah. Ketika itu mereka wajib memakai suatu kain luar yang harus menutupi seluruh badan mereka. Perintah kedua, bertalian dengan “pardah “ terutama di dalam rumah, bial anggota keluarga pria yang dekat sering keluar-masuk. Dalam hal itu pria dan wanita hanyala diminta untuk menundukkan mata mereka, dan sebagai ikhtiar tambahan kaum wanita harus menjaga supaya zinah mereka, yaitu keindahan pribadi, pakaian dan perhiasan-perhiasan, tidak dipamerkan. Mereka tidak diharuskan memakai jilbab pada saat itu, sebab hal itu akan amat menyulitkan mereka dan bahkan mungkin dapat dilaksanakan mengingat kunjungan yang bebas dan seringkali dari anggota-anggota keluarga sedarah yang sangat dekat. Jalan nya kalimat menunjukkan, bahwa perintah ini bertalian dengan “pardah” di dalam tembok pagar rumah, sebab semua orang yang tersebut dalam ayat yang sedang dibahas itu terdiri dari anggota-anggota keluarga sangat dekat yang pada umumnya mengunjungi rumah-rumah ahli kerabatnya. Disebutkan secara khusus empat golongan orang di samping sanak saudara yang dekat, yaitu wanita-wanita yang bersopan santun, pembantu-pembantu rumah tangga yang sudah berumur, budak-budak wanita dan anak-anak lelaki yang masih belum dewasa, lebih mengukuhkan kesimpulan, bahwa printah dalam ayat ini adalah bertalian dengan “pardah” di sebelah dalam tembok pagar rumah. Bahwasanya perintah pertama tertuju kepada “pardah” di luar rumah, dan perintah kedua pada dasarnya menunjuk kepada “pardah” di sebelah dalam tembok pagar rumah, nampak pula dari berbagai kata yang telah digunakan untuk menyebutkan kedua bentuk “pardah” itu dalam ayat-ayat yang bersangku-tan, yaitu 33:60 dan dalam ayat yang sedan dibahas. Di mana dalam ayat 33:60 pakaian yang harus dipakai bila seorang wanita pergi ke luar rumah ialah jilbab, maka pakaian yang harus ia pakai di dalam rumah bila sanak keluarganya datang berkunjung, adalah khimar (kudungan). Lagi pula di dalam 33:60 kata-kata yang dipergunakan adalah yudniina ‘alaihinna min jalaabiihinna, yaitu mereka harus mengenakan atas diri mereka pakaian luar (untuk pem hasan terperinci mengenai jilbab dan yudniina lihat 33:60); dalam ayat yang sedan dibahas ini kata-kata yang dipakai adalah yadribna bikhumuurihiinna ‘alaa juyuubihinna, yakni, mereka harus meletakkan kain kudungan mereka melintang dada mereka. Jelas, bahwa dalam hal yang pertama, pakaian itu akan menutupi kepada mereka, muka, dan dada ; sedang dalam hal kedua hanya kepada dan dada akan tertutup, sedang muka dapat tetap terbuka.

Secara sambil lalu dapat diperhatikan, bahwa bentuk dan potongan pakaian luar seperti tersebut di atas, yang harus dikenakan seorang wanita bila ia keluar rumah dan yang menutupi seluruh badannya, dapat terdiri dari bermacam-macam corak sesuai dengan adat-istiadat, kebiasaan, kedudukan dalam masyarakat, tradisi-tradisi keluarga, dan tata cara berbagai golongan masyarakat Muslim. Perintah bertalian dengan “pardah” di dalam rumah akan berlaku juga di toko-toko, sawah ladang, dan sebagainya di mana wanita dari golongan tertentu dari masyarakat Muslim terpaksa bekerja untuk mencari nafkah. Di sana seorang wanita tidak akan disuruh menutupi makanya. Ia hanya berkewajiban menunjukkan pandangannya dan menutupi ziinah-nya, yaitu perhiasannya dan barang-barang kecantikan lainnya, seperti yang dikenakan oleh wanita-wanita di dalam rumah mereka, bila kaum laki-laki sanak keluarga yang dekat datang mengunjungi mereka.

Perintah ketiga, menghendaki supaya kaum wanita berlaku dengan sikap hormat dan menjaga kesederhanaan, bila berbicara dengan orang-orang pria asing ; dan mereka diminta juga mencurahkan perhatian sepenuhnya melaksanakan kewajibannya yang berat dan penting berkanaan dengan hal-hal yang bertalian dengan kesejahteraan sesama jenisnya dan pengaturan urusan rumah tangganya, dan pemeliharaan dan pembimbingan anak-anaknya , dan hal-hal sebangsanya. Perintah keempat, mewajibkan suami-istri untuk sedapat mung-kin mempunyai kamar tidur terpisah dari anggota-anggota keluarga lainnya, yang bahkan anak-anak kecil tidak diizinkan masuk pada waktu-waktu yang tersebut dalam ayat 59.

Kata zinah yang dipergunakan dalam ayat yang sedang dibahas ini meliputi kecanti-kan alami maupun kecantikan buatan – kecantikan orangnya, pakaian, dan perhiasan-perhia-san. Ungkapan “kecuali apa yang dengan sendirinya nampak darinya “ melingkup segala sesuatu yang dak dapat ditutupi oleh seorang wanita seperti suaranya, cara berjalan, dan bentuk badannya, dan juga beberapa bagian badannya yang terpaksa harus terbuka menurut kedudukannya dalam masyarakat, tradisi-tradisi keluarganya, kesibukannya, dan adat kebiasaan masyarakat. Izin untuk membiarkan terbuka bagian-bagian badannya tertentu akan tunduk kepada perubahan-perubahan tertentu. Dengan demikian kata “janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka “ akan mempunyai mafhum yang berl-lainan, bertalian dengan wanita dari bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan masyarakat yang berlain-lainan ; dan arti serta mafhum akan berubah pula dengan berubahnya adat-istiadat dan cara hidup dan pekerjaan-pekerjaan suatu kaum. Kata-kata, “Dan janganlah mereka itu menghentakkan kaki mereka, sehingga dapat diketahui apa yang mereka sembu-nyikan dari keindahan mereka.” (24:32) menunjukkan, bahwa tari-manari di muka umum, yang telah begitu membudaya di negeri-negeri tertentu, sama sekali tidak diizinkan oleh Islam.

Inilah anggapan Islam mengenai “pardah “. Menurut anggapan itu, wanita-wanita Muslim dapat keluar rumah kapan saja, apabila keperluan yang sah mengharuskan mereka keluar rumah ; tetapi tugas kewajiban mereka yang terutama dan terpokok adalah terbatas pada lingkungan rumah tangga mereka sendiri yang sama penting dan perlunya – jika tidak lebih – dengan pekerjaan-pekerjaan kaum pria. Jika kaum wanita melakukan pekerjaan kaum pria, mereka berusaha menentang alam dan alam tidak membiarkan hukumnya ditentang, tanpa mendatangkan akibat yang berat.

(Alquran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, Tafsir Shagir karya Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a, Khalifatul Masih II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar