Rabu, 15 September 2010

Takfirisasi Dalam Pandangan Ahlu Sunnah Wa al-Jama'ah: Pandangan Terhadap Ahmadiyah

Islam memang tidak pernah sepi dari aliran-aliran dan mazhab-mazhab, baik fikih atau akidah. Pada masa kebangkitan Islam seperti yang didengung-dengungkan, banyak pihak yang berupaya melakukan kajian- kajian dalam rangka melakukan pendekatan-pendekatan antarmazhab. Dulu aliran-aliran ini penuh dengan konflik dan pertikaian, apalagi ketika aliran-aliran itu menerjunkan diri dalam kancah politik dan perebutan kekuasaan. Persoalan tentang perbedaan mazhab dan kelompok aliran di antara kaum muslimin kembali merebak. Khususnya setelah kejadian yang menimpa golongan Ahmadiyah di Parung, Bogor. Mayoritas orang Islam, khususnya di Indonesia--pada sudut pendapat dan pandangan--memang tidak sejalan dengan Ahmadiyah. Lebih dari itu, kita juga menemukan beberapa kelompok dan tokoh ulama yang menyatakan mereka ini bukan dari Islam dan semestinya tidak mencaplok Islam pada nama kelompok mereka.



Apakah Ahmadiyah golongan Islam atau bukan? Bagi saya pertanyaan ini masih lebih baik dengan tujuan mengkaji kembali konsep-konsep teologis dan pendapat para ulama dalam masalah aliran-aliran ini. Bagaimanapun, pertanyaan apakah Islam atau bukan, sudah masuk lingkup teologis dan akidah yang berkaitan erat dengan keimanan Islam. Dalam hal ini kita juga perlu mencermati kembali prinsip- prinsip dasar Iman sehingga tidak bercampur aduk dengan persoalan kesempurnaan Iman.



Berkaitan dengan Ahmadiyah, kalau pertanyaannya, kenapa Ahmadiyah masih mengaku sebagai muslim? Maka jawabannya bagi saya, karena mereka memang muslim. Tuduhan kepada mereka yang mempunyai keyakinan tentang kenabian yang berbeda itu harus dijelaskan lebih lanjut. Persoalan apakah Islam atau bukan, adalah perkara besar yang tidak bisa kita ringkas seringkas kalimat pertanyaan itu. Konsekuensinya sangat jauh hingga menjangkau akhirat, dan tidak terbatas pada kelompok yang dipertanyakan saja, tapi juga punya akibat pada orang yang mempertanyakan.



Dalam beberapa bacaan saya yang langsung bersumber dari referensi Ahmadiyah sendiri, bisa saya simpulkan bahwa sebenarnya Nabi Terakhir bagi Ahmadiyah tetap Muhammad Saw. Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad yang mereka akui sebagai Nabi adalah al-Masih dan al- Mahdi al- Muntazhar. Tentu saja kita tidak mesti harus sependapat dengan mereka apakah benar Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi seperti yang mereka klaim atau bukan. Kalau kita tarik masalah ini ke wilayah dasar prinsip agama, yakni apakah mereka itu Islam atau bukan?, maka sekarang pembicaraannya bukan lagi perdebatan tentang al-Mahdi al- Muntazhar atau al-Masih, tapi sudah mempersoalkan akidah dan keimanan. Dan pertanyaan "kenapa Ahmadiyah masih mengaku muslim?" menjadi pertanyaan yang sudah mengandung tudingan dan tuduhan yang menyangkut prinsip dasar keimanan dan Islam (al-Ushul).



Dalam sejarahnya, persoalan akidah dan yang terkait dengan masalah ini telah melahirkan banyak aliran teologi dalam Islam seperti Mu'tazilah, Syiah, Jahamiyah, Khawarij, dll. Banyak di antara ulama kita (jaman sekarang) dalam pembahasannya terhadap aliran teologis ini menyederhanakan masalah. Mereka mencampur adukkan antara istilah akidah dengan ushul. Biasa kita temukan mereka membagi pembasahan ajaran keislaman kepada Ushul (dasar) dan Furu' (cabang). Lalu memutuskan bahwa Ushul adalah bagian akidah, sedangkan Furu' adalah bagian fikih syariat. Kemudian hadits Nabi atau atsar yang menyatakan perbedaan adalah rahmat mereka tafsirkan sebagai perbedaan yang terjadi pada wilayah furu'. Adapun perbedaan yang terjadi pada wilayah Ushul, tidak termasuk ke dalam hadits terebut karena berbeda secara akidah jawabannya hanya dua; Islam atau Non- Islam.



Saya melihat ada kekeliruan dan kekhilafan dalam padangan ini. Secara khusus, menghubungkan akidah sebagai bagian Ushul yang mutlak dan fikih sebagai bagian Furu' yang mutlak. Sebenarnya, yang dimaksud dengan Ushul adalah dasar-dasar agama yang tidak bisa dibantah lagi dan itu terdapat dalam wilayah akidah dan fikih. Dalam fikih misalnya, termasuk Ushul adalah kewajiban shalat lima waktu. Atau secara ringkas, ma huwa ma'lum min al-Din bi al-Dharurah, yakni apa saja yang sudah diketahui dan dipahami dari agama secara pasti. Standard konsep ini berlaku pada masalah-masalah dimana dalilnya yang sampai kepada kita berstatus Qath'i Dilalah dan Qathi Tsubut sekaligus. Qathi' tsubut adalah dalil yang diriwayatkan secara sangat kuat, dalam hal ini hanya al-Qur`an dan hadits mutawatir. Sedangkan Qath'i Dilalah adalah dalil tersebut tidak berpotensi mengalami banyak penafsiran maksud (bukan penafsiran yang hanya berupa penjelasan). Contohnya selain kewajiban shalat lima waktu adalah haram mencuri, haram berzina, dan haram merampok.



Dalam masalah ini, seorang muslim yang melakukan zina berarti dia telah melakukan dosa besar dan itu tidak menyebabkan kekafiran yang mengeluarkannya dari golongan agama. Namun, kalau dia meyakini secara sadar dan pasti bahwa berzina itu halal, maka itu sudah masuk penyebab kekafiran yang mengeluarkan dari agama.



Contoh dalil yang hanya Qath'i Tsubut tapi tidak Qath'i secara dilalah, "yadullahi fauqa aydiihim." Ayat ini jelas qath'i tsubut karena al-Qur`an, tapi kata dan kalimatnya mengandung potensi penafsiran maksud yang berbeda-beda. Setiap pendapat yang terkait dalam usaha memahami maksud ayat ini dengan segala perbedaannya adalah tidak menyebabkan kekafiran. Contoh terakhir ini sebenarnya sudah masuk dalam pembahasan akidah, tapi bukan wilayah Ushul.



Dalam bukunya "Qadhiyat al-Takfir fi al-Fikri al-Islami", Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar, menjelaskan banyak masalah yang berkaitan dengan Ushul dan Furu' ini dan kaitannya dengan akidah. Bagian yang membedakan seorang muslim dan non-muslim adalah Ushul al- Islam dan kaidah-kaidan keimanan yang Beliau simpulkan --saya kemukakan lebih ringkas dan tanpa menyebutkan ayat-ayat yang dikemukakan karena sudah bersifat jelas, demi untuk menyingkat ruang tulisan-- sebagai berikut:



Pertama, Tauhidullah Azza Wa Jalla (mengesakan Allah). Allah Mahatunggal, Sempurna Zat, Sifat-Sifat, dan Af'al-Nya secara mutlak. Dia berdiri sendiri tanpa ketergantungan dan Mahakaya, tidak beranak dan tidak dilahirkan. Kekal abadi dan tidak ada bandingan- Nya dengan sesuatu pun juga. Ini adalah prinsip dasar Islam yang pertama.



Akan tetapi, setelah itu para ulama akidah dan ahli teologi berbeda pendapat dalam banyak masalah yang terkait dengan prinsip pertama ini. Dalam pembahasan, mereka juga menggunakan akal untuk mencoba menyingkap persoalan-persoalan metafisis. Mereka kemudian berbicara tentang hakikat sifat-sifat ketuhanan apakah 'Ain al-Dzat atau bukan?--Ini termasuk masalah yang diperdebatkan oleh al-Asy'ari dan al-Maturidi dan dicoba dipertemukan oleh al-Sanusi dalam esensi pembahasannya. Mereka juga berdebat seputar ayat-ayat mutasyabihat, bagaimana seharusnya seorang muslim memahaminya? Begitu juga tentang masalah orang mu'min melihat Allah di dunia dan di akhirat, masalah Kalam Allah apakah Kalam Nafsi atau terdiri dari suara dan huruf? Mereka juga berdebat tentang mafhum Iman, apakah Tashdhiq (membenarkan dengan keyakinan dan pengakuan) saja atau Tashdhiq dan Amal? Apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang atau tidak? Dan kami melihat perbedaan atau ijtihad seputar masalah-masalah ini tidak termasuk prinsip dari prinsip-prinsip dasar agama, yang mempunyai pengaruh terhadap keimanan atau kekafiran.



Kedua, Kenabian dan Para Nabi. Allah mengutus hamba-hambanya yang Ia pilih sebagai Rasul yang memberi peringatan dan mengajak kepada kebaikan kepada kaum mereka. Mulai dari Adam As. dan ditutup dengan Muhammad Saw. Al-Qur'an menceritakan kepada kita tentang sebagian dari mereka dan tidak menyebutkan yang lain. Pada dasarnya setiap Nabi diutus kepada kaumnya saja, dan Allah mengutus Muhammad Saw kepada seluruh manusia dan jin dan sebagai rahmat bagi alam. Dan Allah Swt memberikan para Nabi dan Rasul mukjizat yang menguatkan kebenaran mereka. Ini adalah prinsip dasar kedua Islam.



Akan Tetapi, para ulama akidah kembali membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan prinsip kedua ini, seperti; perbedaan Nabi dan Rasul, Perbedaan kedudukan antara para Nabi dan Malaikat, kema'shuman para Nabi sebelum masa kenabian dan sesudahnya, Ijtihad Rasul, Syafa'at dan Tawassul. Dan kami melihat perbedaan pendapat dan ijtihad seputar masalah-masalah ini tidak menyentuh prinsip dari prinsip agama--yang menyebabkan kekafiran.



Ketiga, Kitab-kitab yang diturunkan. Allah menurunkan kitab-kitab yang mengandung tuntunan dan petunjuk untuk hamba-hamba-Nya. Beberapa kitab-kitab itu antara lain adalah Shuhuf Ibrahim as, Taurat Musa as, Zabur Daud as, Injil Isa as, dan al-Qur`an kepada Muhammad Saw. Dan Allah telah menjadikan al-Qur`an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu yang sudah mengalami perubahan dan penyimpangan. Dan al-Qur`an adalah mu'jizat dengan menggunakan Bahasa Arab yang jelas, diterima turun temurun secara mutawatir dari generasi ke generasi. Ini adalah prinsip dasar ketiga Islam.



Akan tetapi, para ulama akidah melakukan pembahasan dan perdebatan seputar beberapa masalah terkait, seperti apakah al-Qur`an itu makhluk atau bukan makhluk, sudut mu'jizat al-Qur`an, dan Nasikh Mansukh. Dan kami melihat perdebatan-perdebatan ini tidak menyentuh prinsip dasar Islam yang ada pengaruhnya terhadap keimanan.



Keempat, Malaikat. Mereka adalah makhluk yang mulia, tidak maksiat kepada Allah dan menjalankan apa yang diperintahkan kepada mereka. Kita bisa mengenal beberapa nama dari mereka seperti Jibril dan Mikail. Kita juga bisa mengetahui tugas-tugas sebagian mereka seperti penjaga surga, penjaga neraka, hamalt al-'Arys, al-kiram al-kaatibin, malakul maut, dan lain-lian. Ini adalah prinsip dasar dari prinsip-prinsip dasar Islam.



Namun dalam kitab-kitab akidah, kita menemukan banyak pembahasan yang sangat panjang seperti perbedaan kedudukan antara malaikat dan manusia, Harut dan Marut, Munkar dan Nakir, Bagiamana Malaikat pada peperangan Badar, dll. Pembahasan-pembahasan ini tidak termasuk prinsip dasar yang ijtihad padanya menyebabkan kekafiran.



Kelima, Hari Akhir. Beriman kepada Hari Akhir dan adanya balasan di akhirat adalah dasar dari dasar-dasar agama. Dan berkaitan dengan ini adalah kebangkitan, al-Hasyr, balasan, surga, neraka.



Akan tetapi, para ulama mendiskusikan banyak masalah yang terkait dengan ini seperti; al-ba'tsu 'an adamin aw tafriq, al-'iadatu lil jawahir faqat aw laha wa lil a'radh ma'an (Maaf, dua masalah ini saya tuliskan bahasa Arabnya saja karena akan panjang bila diterjemahkan, sedangkan terjemahan kata tidak cukup mewakili maksud), surga dan neraka sudah diciptakan sekaran atau akan diciptakan nanti pada hari kiamat, Adam menempati surga atau taman bumi, timbangan itu apakah pada perbuatan atau pada balasannya atau pada keduanya, al-Mizan (timbangan) itu apakah ada secara hakiki atau kiasan dari keadilan yang bersifat mutlak, al-Shirath itu apakah jembatan yang memanjang di atas neraka atau jalan menuju ke surga dan neraka.



Dan masalah-masalah lain yang sangat banyak, dimana sah-sah saja perbedaan pendapat dan ijtihad padanya dan tidak menyentuh dasar iman--yang menyebabkan kekafiran.



Keenam, Apa yang sudah diketahui dari agama secara pasti. Ada beberapa masalah dalam agama yang sudah jelas dalil-dalilnya dan diriwayatkan secara mutawatir sehingga menjadi masyhur di antara kalangan umum dan khusus (elit ulama), dan tidak ada seorang pun yang tidak mengetahui hukumnya, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan seperti keharaman zina, keharaman riba, haram mencuri dan haram membunuh. Sehingga pengetahun tentang masalah- masalah ini sudah menjadi pengetahuan umum yang bisa dimengerti secara mudah. Bagian ini termasuk prinsip dasar dari keimanan yang menyebabkan kekafiran bagi yang mengingkarinya.



Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam berbagai mazhabnya masing-masing seputar rincian masalah yang berkaitan dengan prinsip dasar ini. Muncul berbagai macam ijtihad yang kemudian dikenal dengan mazahib fiqhiyah. Dan para ulama sepakat secara ijma bahwa perbedaan pendapat fiqhiyah ini adalah dalam wilayah furu' dan tidak terkait dengan akidah.



Itulah masalah-masalah yang berkaitan dengan prinsip dasar ajaran Islam dan kita tidak mengingkarinya karena kebenaran padanya sangat jelas, dan keyakinan dihasilkan dengan mudah. Dan bersama itu kita tetap memberikan tempat kepada para mujtahid yang dengan sungguh - sungguh berijtihad dan kita bukan pintu diskusi dan dialog. Dan kita menolak pendapat yang serampangan, atau sudut pandang yang berdasarkan pada hawa nafsu, atau berlebihan dan mengada-ada dalam memahami dalil. Demikian pemaparan Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar, Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar. [Lihat Qadhiyat al-Takfir fi al-Fikr al-Islami, hal. 37-41].



Sebelum saya melanjutkan kepada bagian bagaimana sikap kita terhadap aliran teologis yang berbeda-beda, ada sedikit catatan pada pemaparan Dr. Musayyar ini, yaitu beriman kepada Qadha dan Qadar. Barangkali Beliau bermaksud bahwa itu sudah masuk pada bagian pertama, Iman kepada Allah. Namun tidak ada salahnya saya tambahkan di sini, bahwa salah satu prinsip dasar Iman adalah percaya kepada Qadha dan Qadar. Adapun perdebatan para ulama setelah itu seperti bagaimana hakikat qadha, hakikat qadar, qadha mubram, ta'alluq qudrat, (soal ilmu hakikat yang santer di kalangan sufi masuk pada bagian ini) adalah perdebatan yang tidak berkaitan dengan keimanan dan kekafiran.



Pertanyaan apakah Ahmadiyah itu Islam atau tidak, kalau kita kaitkan dengan aliran-aliran teologis yang ada, pertanyaan ini juga mengarah kepada mereka. Sebut saja Syi'ah misalnya, atau Mu'tazilah, atau Khawarij. Dalam menjawab ini, sebenarnya saya lebih suka menggunakan pertanyaan, bagaimana sikap kita terhadap Ahmadiyah, atau Syiah, atau Mu'tazilah? Saya pikir dengan pertanyaan ini, kita tidak merampas Islam untuk kita miliki sendiri. Kita tidak meletakkan diri pada posisi yang mempunyai otoritas penentu yang bisa mempertanyakan keislaman dan keimanan orang lain. Kita sedang berada dalam wilayah yang tidak memungkinkan kita untuk mengatakan Hanya saya yang Islam, mereka bukan. Apalagi jika pernyataan itu menjurus pada persoalan mendasar yang menyangkut keyakinan hati dimana tidak seorangpun makhluk yang bisa mengetahuinya secara pasti.



Sikap Muslim



Seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya dituntut untuk mengemukakan kecaman atas sifat dan perbuatan saja, maka dia mengecam kemaksiatan dan menegaskan ancaman bagi yang melakukannya dan melaknat setiap penyimpangan dengan penyebutan penyimpangannya bukan dengan menyebut oknumnya. Dia hanya mengatakan misalnya, laknat Allah atas orang-orang zhalim, orang-orang fasik, para pencuri, orang-orang yang kafir. Hanya itu saja tanpa menyebut oknum orangnya karena siksa sebenarnya masih tidak diketahui dan ukuran juga ditentukan dengan masa akhir kehidupan.



Demikian seperti yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Musayyar, maka tidak boleh dikatakan: "laknat Allah terhadap si A" bahkan meskipun si A tersebut adalah orang kafir. Karena barangkali saja dia bertaubat dan masuk Islam.



Terdapat beberapa hadits yang menegaskan larangan melaknat terhadap oknum orangnya. Di dalam sahih Bukhari dengan sanadnya dari Umar bin Khattab disebutkan bahwa seorang laki-laki pada masa Nabi Saw bernama Abdullah dan orang ini diberi gelar Himarm dan dia pernah membuat Nabi Saw tertawa. Nabi Saw pernah mencambuknya karena minum (khamar). Kemudian pada suata hari dia kembali dibawa kepada Nabi Saw lalu diperintahkan lagi untuk mencambuknya. Sehingga ada seorang laki-laki dari kaum berkata, Ya Allah! Laknat kepadanya. Betapa sering dia dibawa (untuk dihukum). Lalu Nabi Saw menyahut, "Jangan kalian laknat dia. Maka demi Allah, Aku tidak tahu bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain, "Maka demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain, "Maka demi Allah, Aku tahu dia melakukan kejahatan. Dia (juga) mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain lagi, "Maka demi Allah, kamu tidak tahu bahwa dia mencintai Allah dan Rasul-Nya." (Hadits no. 6398, 6/2489. Saya terjemahkan semua makna yang disebutkan oleh para Syurrah Hadits yang orang Arab itu, betapa maknanya berbeda-beda).



Hadits lain juga diriwayatkan oleh Bukhari tentang seorang yang mabuk kemudian diperintahkan untuk menghukumnya. Lalu ada seorang laki-laki berkata, "ada apa dengannya. Semoga Allah menghinakannya." Lalu Rasulullah Saw menjawab, "Jangan kalian menjadi pembantu setan terhadap saudara kalian." (Hadits 6399). Dalam kitab sahihnya, Imam Bukhari memberi sebuah judul, "Bab melaknat pencuri selama tidak disebutkan namanya." Dan masih banyak hadits- hadits lain lagi.



Lalu bagaimana sikap terhadap aliran akidah dalam Islam? Prof. Dr. Musayyar menegaskan, apabila sebagian kelompok mengafirkan orang- orang yang berbeda dengan mereka, maka kita tidak mengafirkan kelompok yang melakukan pengafiran ini. Kalau tidak, kita sama saja seperti mereka dalam kesesatan. Seharusnya yang kita lakukan adalah memberi nasihat dan memberikan penjelasan-penjelasan dan memohon keampunan dan istiqamah untuk mereka.



Sikap kita terhadap kelompok lain yang berbeda selama itu adalah perbedaan-perbedaan yang tidak menyangkut ushul (prinsip dasar Iman) seperti disebutkan di atas, seharusnya masih dalam koridor beda pendapat yang berlandaskan prinsip saling menghormati dan saling menghargai. Bukan otoritas kita untuk mempertanyakan keimanan dan keislaman orang lain. Mempertanyakan secara detail keimanan dan keislaman orang lain ini sangat ditentang oleh Ibnu Suraij ketika dia menjadi salah seorang jaksa yang mewakili Syafi'iyah dalam persidangan al-Hallaj. Dan setelah itu dia menarik diri dan mundur dari persidangan itu. Walaupun berbeda, dalam mazhab ahlusssunnah wal jama'ah sesungguhnya adalah menjauhkan diri dari pengakifarn kelompok lain yang tidak sepaham. Hal tersebut bisa kita lihat dari pernyataan Imam al-Bajuri dalam uraiannya terhadap kitab al-Jauharah [Jauharah al-Tauhid]. Setelah menjelaskan prinsip ahlussunnah wal jama'ah, beliau berkata:



"Kelompok Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa itu kafir. Dan mereka menjadikannya semua sebagai dosa-dosa besar. Mereka tidak dikafirkan dengan pendapat mereka ini,--padahal mengafirkan orang mu'min itu hukumnya kafir-- karena itu hasil dari ta'wil (upaya penafsiran) dan ijtihad." [lihat Syarah Jauharah, bait ke 115].



Dalam sahih Muslim jelas disebutkan, "Apabila seseorang mengafirkan saudaranya, maka kekafiran itu telah kembali kepada salah seorang dari keduanya." Dalam riwayat lain, "Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau berkata: musuh Allah, dan dia tidak seperti itu, maka itu kembali kepada dirinya sendiri."



Sikap serupa dikemukakan oleh Imam Ghazali--saya kemukakan secara kesimpulan--. Dia mengatakan: "Mu'tazilah, Musyabbihah, dan aliran-aliran semuanya selain para filsuf, yaitu mereka yang membenarkan dan tidak membolehkan kedustaan --dan pendustaan-- karena suatu kemaslahatan atau bukan kemaslahatan, dan mereka tidak menyibukkan diri berargumen untuk kemaslahatan dusta, tapi dengan ta'wil (upaya memahami) dan akan tetapi mereka ini keliru dalam ta'wil tersebut, maka mereka semua ini urusannya berada dalam wilayah ijtihad.



Dan yang semestinya diambil pegangan oleh setiap orang beriman adalah menjaga diri dari pengafiran semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya menghalalkan darah dan harta ahlul kiblat dan secara jelas menyatakan: "Laa ilaaha Illa-llah, Muhammad Rasulullah", adalah salah." [Lihat al-Iqtishad fi al-I'tiqad, Hal. 126]



Selanjutnya, Imam Ghazali berkata: "Dalil larangan mengafirkan mereka bahwa (nash) yang tetap ada pada kita adalah mengafirkan orang yang mendustakan Rasul. Sedangkan mereka ini tidak mendustakan sama sekali. Dan tidak ada dalil yang kuat dan tetap bagi kita bahwa kesalahan dalam ta'wil (upaya memahami) itu membawa kepada pengafiran. Maka harus ada dalil untuk itu. Dan telah tetap dan kuat (dalil) bahwa al-'Ishmah dihasilkan dari perkataan La ilaaha ill-Allah, secara pasti. Maka hal itu tidak bisa disingkirkan kecuali dengan bukti yang pasti (qath'i)..." [Lihat sumber yang sama, al-Iqtishad fil I'tiqad].



Pendapat al-Ghazali ini sangat kuat didukung hadits Usamah bin Zaid yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam peperangan waktu itu Rasulullah menyiapkan pasukan untuk menyerang Bani Juhainah. Mereka menyergap pasukan Juhainah di pagi hari secara tiba-tiba [serangan pajar -]. Usamah bersama seorang laki-laki dari Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika dia sudah tidak bisa menyelamatkan diri, tiba-tiba dia mengatakan La ilaaha ill-Allah. Laki-laki dari Anshar itu berhenti. Sedang Usamah menikamnya dengan tombak sehingga terbunuh. Berita itu sampai kepada Nabi Saw, lalu Nabi berkata kepadanya: "Wahai Usamah, apakah engkau telah membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah?" Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah, dia hanya berusaha melindungi diri." Nabi tetap mengulangi pertanyaannya dan tidak menanggapi pendapat Usamah. Nabi terus mengulangnya sampai Usamah berangan-angan andai dia belum masuk Islam sebelum hari itu.



Dalam beberapa riwayat lain disebutkan dalam bentuk dialog yang lebih panjang. Rasulullah Saw berkata, "Apakah dia telah mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah dan engkau bunuh?!" Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut senjata." Rasulullah Saw berkata, "Apakah engkau telah membelah hatinya sehingga engkau bisa mengetahui dia mengucapkannya sungguh-sungguh atau tidak?" Dan Rasulullah terus mengulang-ulangnya.



Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw mengatakan kepadanya, "Maka bagaimana kamu menghadapi Laa ilaaha ill-Allah apabila nanti datang di hari kiamat?!" Dan terus diulang-ulang oleh Nabi Saw.



Pandangan serupa dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Beliau menyebut aliran-aliran yang berbeda-beda ini sebagai ahlu bid'ah. Namun demikian Beliau menolak dan melarang pengafiran terhadap mereka secara mutlak. Dalam menjelaskan persoalan ini, Ibnu Taimiyah membagi kepada dua prinsip utama:



Pertama, di dalam kelompok ahlu bid'ah itu ada yang munafiq dan zindiq. Dan menurutnya ini banyak terdapat dalam kelompok Rafidhah dan Jahamiyah. Tokoh-tokoh dua kelompok ini adalah kebanyakan orang- orang zindiq dan munafiq.



Ungkapan yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah ini mengisyaratkan bahwa ada orang yang hanya mengaku Islam dan menampakkan diri mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, tapi bertujuan untuk menyebarkan fitnah dan memecah belah persatuan umat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq pada masa Nabi Saw.



Ibnu Taimiyah membedakan orang-orang ini dengan pengikut mereka. Dia mengatakan, dan dari para ahlu bid'ah terdapat orang yang beriman lahir dan batin. Namun padanya terdapat kejahilan dan kezaliman sehingga dia keliru dalam menerapkan sunnah. Maka ini tidak termasuk kafir dan bukan munafiq. Kemudian kadang-kadang padanya terdapat permusuhan, penentangan, dan kezaliman sehingga dia menjadi fasiq dan pelaku maksiat. Dan ada juga yang memang keliru pada orang yang melakukan ta'wil (upaya memahami) dan ditolerir kekeliruannya. Dan bisa juga bersama itu padanya terdapat keimanan dan ketakwaan, sesuatu yang bersamanya ada bagian kewalian dari Allah sesuai ukuran iman dan takwanya.



Kedua, pendapat ada yang berupa kekafiran seperti menentang kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji, menghalalkan zina, khamar, atau menghalalkan pernikahan dengan muhrim. Kemudian orang yang mengatakan itu, bisa saja berada dalam posisi yang tidak sampai kepadanya ajaran Islam secara baik. Dan ini tidak dikafirkan karenanya orang yang menentang tersebut sama seperti orang yang baru masuk Islam misalnya, atau dia berada di suatu tempat yang jauh sekiranya syariat Islam tidak sampai kepadanya. Maka orang seperti ini tidak dihukumkan kafir dengan penentangannya terhadap apa yang diturunkan kepada Rasul, apabila dia tidak mengetahui bahwa hal itu telah diturunkan kepada Rasul.



Pada bagian lain, Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan bahwa Ulama Salaf dan para imam tidak memperdebatkan lagi masalah tidak boleh mengafirkan Mujiah dan Syiah. Kemudian dia berkata: "Tidak ada perbedaan dalam nash-nash Imam Ahmad bahwa dia tidak mengafirkan seorang pun dari mereka ini. Dan meskipun di antara pengikutnya ada orang yang disebutkan mengafirkan seluruh ahlu bid'ah--dari golongan mereka ini dan selain mereka--sebagai pendapat yang berbeda darinya (dari Imam Ahmad) atau dalam mazhabnya. Bahkan sebagian mereka ini berpendapat kelompok tersebut dan selain mereka (dari ahlu bid'ah) kekal di neraka. Dan ini adalah salah dan keliru atas mazhabnya dan atas syariah."



Kemudian Ibnu Taimiyah berkata lagi: Dan dari mereka (pengikut Ahmad) terdapat orang yang tidak mengafirkan seorang pun dari mereka (kelompok tersebut) karena dia berpendapat hanya menghubungkan ahlu bid'ah itu dengan pelaku maksiat. Mereka ini (pengikut Ahmad) mengatakan, Maka sebagaimana termasuk dari prinsip dasar ahlu sunnah wal jama'ah adalah mereka tidak mengafirkan seorang pun karena suatu dosa, demikian juga mereka tidak mengafirkan seorang pun dari ahlu bid'ah."



Ibnu Taimiyah mengemukakan alasan pendapat tidak mengafirkan ahlu bid'ah ini dengan tiga hal: 1. Karena ta'wil (upaya memahami). Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang berusaha memahami dan bukan orang yang menolak apa yang diturunkan. 2. Bahwa dasar utama Iman adalah pengakuan terhadap Allah dan dasar utama kekafiran adalah tidak percaya atau ingkar kepada Allah. Sedangkan mereka ini bukan orang yang tidak percaya atau ingkar. 3. Kelompok-kelompok tersebut juga mempunyai dalil-dalil, argumen- argumen, dan syubuhat yang kadang tidak diketahui (atau dipahami) oleh kebanyakan orang-orang mu'min. [Penjelasan Ibnu Taimiyah secara lengkap bisa dibaca kembali dalam Majmu' al-Fatawa, 3/345-358]



Pendapat serupa dikemukakan oleh al-Qhadi 'Adhud Din al-Aiji (Salah seorang pengikut Asy'ari, wafat tahun 756 H) di dalam kitabnya Syarah al-Mawaqif. Di dalam kitab ini, Beliau memaparkan pendapat- pendapat dalam aliran-aliran teologis dan mengulasnya secara panjang lebar dalam lingkup mazhabnya, al-Asy'ariyah. Pada bagian penutup, beliau melontarkan sebuah pertanyaan, "Orang yang menyalahi kebenaran dari ahlu kiblat apakah dikafirkan atau tidak?"



Pertanyaan ini dari satu sudut memang tidak netral. Itu sesuatu yang wajar karena al-Qhadi mengulas tentang aliran dan mendiskusikannya dengan pendapat mazhabnya, al-Ays'ariyah. Dia menyebut aliran-aliran selain ahlus sunnah waljamaah sebagai "al-mukhalif lil haq". Namun lebih penting dari itu adalah pandangan dan pendapatnya terhadap aliran-aliran tersebut apakah dikafirkan atau tidak. Pendapat tersebut bisa kita lihat dari jawaban beliau terhadap pertanyaan tersebut:



"Jumhur mutakallimin (ulama akidah/teologis Islam) dan fuqaha berpendapat bahwa tidak dikafirkan seorang pun dari ahli kiblat. Maka telah disampaikan oleh Syaikh Abu Hasan al-Asy'ari pada awal kitabnya 'Maqalat al-Islamiyin': Orang-orang Islam berbeda pendapat setelah Nabi mereka Saw dalam beberapa perkara. Sebagian mereka menyesatkan [yakni menuduh sesat] sebagian yang lain. Dan sebagian mereka melepaskan diri [bara'ah] dari sebagian yang lain. Sehingga mereka menjadi berbagai kelompok dan aliran yang berbeda-beda dan bertolak belakang. Kecuai hanya saja Islam tetap mengumpulkan dan menyatukan mereka. [demikian perkatan al-Asy'ary yang dikutip oleh al-Qadhi, selanjutnya perkataan al-Qadhi sendiri]. Maka ini adalah mazhabnya dan atas pendapat ini pegangan mayoritas sahabat-sahabat kami."



Pada bagian jawaban ini, al-Qadhi mengutip perkataan Imam Syafi'i: "Saya tidak menolak kesaksian seorang pun dari ahlu ahwa (sebutan Imam Syafi'i terhadap aliran-aliran) kecuali al-Khitabiyah, karena mereka meyakini kehalalan dusta." Kutipan serupa disampaikan oleh al- Khatib dalam kitab al-Kifayah dan dia mengatakan bahwa pendapat serupa disampaikan juga oleh Ibnu Abi Laila, Sufyan al- Tsauri, dan Qadhi Abu Yusuf. [Lihat Tadrib al-Rawi, 1/325].



Disampaikan juga oleh al-Hakim pengarang al-Mukhtashar dalam kitab al-Muntaqa dari Abu Hanifah bahwa beliau tidak mengafirkan seorang pun dari ahlu qiblat. Demikian juga pendapat yang sama disampaikan oleh Abu Bakar al-Razi dari al-Karkhi dan selainnya.



Ibnu Hajar dalam Fathul Bari memberikan keterangan dalam masalah aliran Khawarij. Meskipun pembicaraannya lebih terfokus pada kelompok ini, tapi kita bisa melihatnya sebagai sikap dan pendapat yang patut untuk diperhatikan. Setelah menegaskan bahwa Ibnu Hajar berkata:



Mayoritas ahli ushul (yakni para ulama akidah dan teologi Islam) dari kalangan ahlu sunnah wal jamaah berpendapat bahwa Khawarij adalah orang-orang fasik. Dan hukum Islam berlaku pada mereka karena mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tetap berpegang pada rukun-rukun Islam dan melaksanakannya. Hanya saja mereka fasik karena mereka mengafirkan kaum muslimin berdasarkan pada ta'wil yang rusak. Dan ta'wil itu telah mendorong mereka kepada penghalalan darah dan harta orang yang menyalahi pendapat mereka serta bersaksi bahwa mereka kafir dan syirik.



Al-Khattabi berkata, para ulama telah sepakat secara ijma bahwa golongan Khawarij meski bersama kesesatan pendapat mereka adalah golongan dari golongan-golongan kaum muslimin. Dan boleh menjalin hubungan nikah dengan mereka dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama mereka masih berpegang dengan prinsip dasar Islam. Qadhi Iyadh berkata, masalah ini merupakah persoalan yang boleh dikatakan paling musykil dan rumit bagi para mutakallimin dari masalah-masalah yang lain. Sampai-sampai al-Faqih Abdul Haq bertanya kepada Imam Abu al-Ma'ali tetang itu, Maka beliau meminta maaf (karena) bahwa memasukkan orang kafir ke dalam golongan agama dan mengeluarkan seorang muslim dari agama adalah perkara besar.



Sebelumnya, al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani menyatakan tawaqquf (menahan diri) dalam masalah ini. Dan dia berkata, kaum itu tidak mengemukakan sesuatu yang secara tegas sebagai kekafiran. Mereka hanya mengungkapkan pendapat-pendapat yang bisa menjerumuskan dalam kekafiran.



Kemudian Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam al-Ghazali seperti yang sudah kita ungkapkan di atas. Namun, Ibnu Hajar menyebutkan perkataan tersebut dalam kitab Imam al-Ghazali "al-Tafriqah baina al- Iman wa al-Zindiqah". [Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/300]



Dengan ini menjadi lebih jelas bagi kita bahwa mazhab ahlu sunnah wal jama'ah yang sebenarnya adalah tidak mengafirkan aliran lain. Para ulama hanya mengecam penyimpangan-penyimpangan dan pendapat- pendapat yang cukup keras. Dalam banyak kasus, sekian banyak perbedaan itu disikapi dengan nasihat, dialog, atau diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara langsung atau lewat karya-karya yang dilahirkan. Namun, kecaman-kecaman yang mereka tujukan hanya semata- mata karena mereka tidak sependapat sesuai dengan dalil-dalil dan argumen mereka. Dengan keterangan ini, jelas juga bahwa kata-kata tudingan sesat yang muncul dari ungkapan mereka sebatas makna tidak sejalan dan menyimpang menurut dalil dan mereka saja, bukan maksudnya memutuskan bahwa pengikut aliran-aliran yang sangat banyak itu telah sesat dalam makna telah keluar dari agama. Mereka sama sekali menolak pengafiran dan inilah pemahaman dan pendapat ahlu sunnah wal jamaah sesungguhnya.



Dalam sikap mereka menjalankan pendapat ini bisa kita lihat misalnya dalam beberapa pendapat mereka. Atha berkata, saya tidak meninggalkan shalat (shalat mayit) terhadap orang yang mengucapkan Laa ilaha ill-Allah. Firman Allah Swt, "setelah jelas bagi mereka bahwa mereka adalah penghuni neraka." Atha berkata, "Siapa yang tahu bahwa mereka ini penghuni neraka?!" [Beberapa riwayat dari Atha yang semakna juga bisa dilihat dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 11864, 3/34]



Ibnu Juraij berkata, "Lalu aku tanyakan kepada 'Amar bin Dinar, dia menjawab seperti perkataan Atha." Telah sahih dari Qatadah bahwa dia berkata, "shalatkanlah (shalat mayit) orang yang telah mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah. Maka apabila dia adalah seseorang yang sangat jahat dan buruk sekali, maka ucapkanlah Allahummagfir lil muslimin wal muslimat, wal mu'minina wal mu'minat. Dan aku tidak mengetahui seorang pun dari para ulama yang menghindari shalat atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah." Demikian juga riwayat-riwayat dari Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, dan beberapa ulama yang lain. Standard utama yang menjadi landasan pandangan mereka adalah ucapan Laa ilaaha ill-Allah sebagai ahlu kiblat. [al-Muhalla, 5/171]



Juga terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw, berhentilah terhadap ahlu Laa ilaaha ill-Allah, jangan mengafirkan mereka karena sebab suatu dosa. Barangsiapa yang mengafirkan ahlu Laa ilaaha ill-Allah maka dia kepada kekafiran itu lebih dekat. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani dan pada sanadnya terdapat al-Dhahhak bin Hamzah dari Ali bin Zaid. Pengaran Majma Zawaid menyebutkan, kedua orang ini diperselisihkan dalam hujjah pada mereka. [Majma' Zawaid, 1/106]. Meskipun hadits ini mengandung potensi cacat, tetapi kandungannya mempunyai maksud dan pemahaman yang sama secara garis besar dengan hadits yang sahih dalam riwayat Muslim seperti yang sudah kita kemukakan di atas.



Diriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa dia tidak pernah (berpikir) menyiapkan untuk memerangi seorang pun dari ahlu kiblat kecuali untuk memerangi Najdah al-Haruri ketika dia takut mereka menghalanginya dari al-Bait (baitullah). [Lihat kitab al-Fitan, Nu'aim bin Hamad, 1/170].



Diriwayatkan oleh Ahmad bin Husain al-Baihaqi dengan sanadnya dari Tamam bin Najih dia berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada al- Hasan al-Bashri tentang Iman. Dia menjawab: Iman itu ada dua. Kalau kamu bertanya kepadaku tentang Iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, (adanya balasan) Surga dan Neraka, Hari Kebangkitan dan Hari perhitungan (Hisab), maka aku beriman.



Dan apabila kamu bertanya kepadaku tentang firman Allah Swt, "Hanya saja sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar- benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia." (QS Al-Anfaal- [8]:2-4), Maka demi Allah saya tidak tahu aku termasuk mereka atau tidak.



Maka al-Hasan tidak terhenti (menahan diri) pada dasar Iman dalam keadaan itu, dan hanya saja dia terhenti pada kesempurnaannya yang dijanjikan oleh Allah untuk ahli surga. [Untuk penjelasan yang panjang lebar dan lebih luas, lihat al-Baihaqi, kitab al-I'tiqad, 1/180-185]



Hibatullah bin Hasan berkata, "Janganlah memberikan kesaksian [yakni memutuskan kepastian] terhadap ahlu kiblat pada suatu perbuatan yang ia lakukan dengan surga atau neraka. Dia menyimpan harap pada orang yang saleh dan kuatir atasnya (Raja dan Khauf), dan takut pada orang yang jahat dan pelaku dosa dan mengharap rahmat Allah atasnya (Khauf dan Raja)." [I'tiqad Ahlus Sunnah, 1/162]. Pendapat serupa dengan bahasa yang lebih tegas dan lebih luas disampaikan oleh Muhammad bin Muhammad dalam kitabnya Syiar Ahli Hadits, [1/31].



Pada berbagai kasus yang berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam akidah ini, kita juga menemukan para ulama ahlu sunnah melakukan pengafiran terhadap aliran lain. Namun al-Qadhi al-Aiji mengisyaratkan bahwa pengafiran terjadi dalam bentuk saling tuding antara berbagai aliran seperti bentuk memberikan perlakuan yang sama, dan bukan atas dasar kaidah-kaidah akidah dan prinsip dasar. Dia mengatakan, orang-orang Mu'tazilah sebelum Abu Hasan (al- Asy'ari) berkumpul-kumpul lalu mereka mengafirkan sahabat-sahabat (yakni pengikut ahlu sunnah yang kemudian konsepnya dirumuskan oleh Abu Hasan) sehingga sebagian dari kami melawan dengan seumpamanya lalu mengafirkan mereka.



Abu Ishaq berkata, "setiap orang yang menyalahi (mazhab kami) yang mengafirkan kami, maka kami mengafirkannya juga. Kalau tidak, maka kami juga tidak melakukannya." [Prof. Dr. al-Musayyar, Qadhiyat Takfir fi al-Fikri al-Islami, hal. 77].



Persoalan ini juga bisa dilihat dalam fatwa-fatwa Imam Subki. Ibnu Hajar mengutip dari Imam Subki dalam kumpulan fatwanya berkata, mereka yang mengafirkan Khawarij dan Kelompok yang berlebihan dari golongan Rafidhah berargumen (hujjah) karena mereka ini mengafirkan tokoh-tokoh Sahabat dan itu mengandung pendustaan terhadap Nabi Saw dalam kesaksiannya Saw terhadap mereka dalam memperoleh surga. Ibnu Hajar menegaskan bahwa argumen ini menurutnya adalah argumen yang sahih. Kemudian Ibnu Hajar menguatkan pandangannya dengan mengemukakan hadits-hadits "barangsiapa mengafirkan seorang muslim maka kekafiran itu kembali kepadanya" sebagaimana sudah kita sebutkan di atas dari riwayat Imam Muslim. [Lihat Fathul Bari, 12/299].



Bagaimana dengan Ahmadiyah? Dengan membaca kembali pandangan dan pendapat kebanyakan para ulama seperti yang sudah dipaparkan ini dan masih banyak lagi yang tidak sempat kita kutipkan semuanya, dan kemudian saya membaca sendiri formulir baiat Ahmadiyah yang dengan tegas tetap melandaskan pada prinsip utama yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah. Kemudian setelah itu terdapat beberapa kalimat tambahan yang menegaskan bahwa Muhammad Saw adalah penutup para Nabi terulang hingga tiga kali dan dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah al- Masih dan al-Mahdi al-Muntazhar. Mereka juga tetap beriman kepada kitab-kitab termasuk al-Qur`an. Dengan melihat ini semua dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar Islam (Ushul Islam), maka Ahmadiyah adalah salah satu aliran dari aliran kaum muslimin dengan segala perbedaannya.



Persoalan ini tidak ada masalah dengan orang nonmuslim karena prinsip dasar agama yang memang berbeda. Hubungan muslim dengan nonmuslim hanya sebatas persoalan-persoalan duniawi dalam menjalani hidup di bumi ini. Karena itu, bukan persoalan bagi seorang muslim mengatakan kafir kepada orang yang jelas nonmuslim dan memang itu adalah istilah untuk menyebut mereka. Persoalan menjadi lain ketika kata kafir ditujukan kepada muslim, karena itu sudah berupa tudingan yang berarti bahwa muslim yang dituding tersebut dianggap sudah menjadi nonmuslim.



Pendapat ini bisa saja dikatakan sebagai pembelaan terhadap Ahmadiyah, tetapi yang lebih penting dari itu sebagaimana diungkap oleh Imam Abu al-Ma'ali, persoalan pengafiran dan menuding sesat dalam makna keluar dari agama adalah perkara besar. Persoalan ini mempunyai akibat hukum dunia akhirat, tidak sebatas kelompok yang dituding kafir tapi juga mempunyai akibat pada orang yang melayangkan tudingan. Dan para ulama ahlus sunnah wal jama'ah sejak para tabi'in hingga masa-masa terakhir selalu berhati-hati dalam masalah ini dan bahkan sebagian dari mereka menahan diri atau sebatas mengatakan bahwa pendapat mereka bisa mengakibatkan kekafiran tanpa menudingnya secara tegas dan pasti.



Pendapat ini juga berlaku pada berbagai aliran dan golongan yang ada dalam Islam dan ada di tengah-tengah kaum muslimin. Termasuk Syiah, Wahabi, dan aliran-aliran kaum muslimin lainnya. Ketika ada pendapat yang berbeda, kita hanya mengatakan perbedaan dengan mengemukakan sikap, argumen, dalil, dan diskusi-diskusi dalam rangka memberikan penjelasan dan sikap kita. Bukan persoalan untuk mengatakan suatu pendapat itu salah, atau keliru, atau sesat dalam makna bukan keluar dari agama, atau lainnya, sesuai dengan sudut pandang, dalil-dalil, dan argumen yang kita miliki dan kita pahami. Akan tetapi, semua itu tetap berada dalam prinsip perbedaan pendapat yang tidak mengafirkan orang lain hanya karena pendapat dan pandangannya yang berbeda.



Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf atas kepanjangan ini dan harap koreksi lagi jika terdapat kesalahan atau kekeliruan. Terima kasih.



disusun oleh Aman Fatha.


Penulis adalah Lulusan Pasca Sarjana Universitas Al Azhar Mesir. Artikel pernah saya posting dulu, saya postingkan kembali karena momentnya sangat tepat, mungkin bermanfaat ketika berdialog dan diskusi dengan para Ulama, Pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar